EKOLAH
saya gempar. Seru. Pokoknya
menegangkan, ketika sas-sus itu pecah dan kian santer. Begitu kencang
beredarnya dari mulut ke mulut. Banyak yang pro, tapi tidak kurang yang kontra.
Masing-masing punya argumen dan pandangan.
“ Hei Syid, apa kau percaya dengan
berita itu?” Rio rekan saya yang paling intim mulai penasaran mendengar suara-suara
burung itu.
Saya maklum, Rio (nama lengkapnya Riosaputra)
memang ada minat, dulunya. Tentu saja dia termasuk deretan yang kontra
menanggapi berita semacam itu. Bahkan menurut saya mungkin saja rasa lelakinya serasa
tersinggung.
“Kalau menurutmu?” saya balik
bertanya, menjenguk hatinya.
“Haaak…kalau saya sih nggak percaya.
Mustahil. Nggak masuk ke sini”, dia menunjuk jidatnya. ”Masa model tampang dia
mampu menggaet itu kembang”, dengan nada sinis Rio berapi-api menjelaskan untuk
menangkis info itu.
Pass, kata saya dalam hati. Dugaan
saya tepat. Warna muka Rio pun menunjukkan dia keki. Iri. Lalu saya tersenyum
kecil.
“Kenapa? Bung, percaya?” matanya
sedikit terbuka.
“Bukan
percaya atau tidak. Bukan itu yang saya pikirkan. Tapi saya masih ragu dengan gosip-gosip
semacam itu. Jangan-jangan itu sekedar jual kecap orang-orang iseng.
Atau sekedar memanas-manasi orang tertentu”.
“Bhuaaah…kamu seperti nggak ngikuti
situasi. Sebanyak itu mulut di sini yang bilang begitu. Apanya yang Bung
ragukan?” suara Rio mulai naik.
“Kebenarannya. Itu yang saya
sangsikan”.
“Jadi kamu nggak percaya dengan mulut
sebanyak itu?”
“Itu saja belum menjamin
kebenarannya, Rio. Di samping cerita kita juga mesti ada fakta. Teliti dulu”.
“Nah,
akhirnya Bung…kan nggak percaya juga, kan? Berarti kita sependapat saja. Heh Syid, “sedikit rendah
dinamiknya. Temponya juga agak lambat”…jangan kan dia, seperti aku, Heru, Sino,
bahkan Mun yang sering bawa Honda Civic itu pernah mencoba mengetuk jantung itu
cewek. Hasilnya? Nihil. Semua kami ditolak. Kurang apa kita-kita ini? Soal
tampang? Aku rasa belumlah kalah. Apa lagi dia, mana mungkin”. Rio kian
bersemangat. Humorisnya tak terbayang lagi.
“Di
sinilah kita beda pendapat, Rio. Aku rasa….tampang dan kekayaan belum menjamin untuk bisa
meluluhkan hati wanita. Lagi pula, seperti Lin itu bukan tipe wanita bensin.
Atau wanita mata duitan. Saya yakin, Lin adalah wanita yang menilai seseorang
dari pribadi. Bukan harta meski ia anak orang berharta”.
“Ah, nggak usah berkhutbah. Teori itu
hanya ada dalam cerita-cerita fiktif. Dalam kenyataannya, semua manusia di
kulit bumi ini, terutama ceweknya, ya sama saja. Tetap menomor-satukan
kekayaan. Soal pribadi itu belakangan. Saya kira orang seperti Lin itu, pun
sama. Jelas dia memilih pasangan yang berkelas. Mana masuk akal, Lin tunduk
pada penjual lontong. Dan paling tidak masuk akal, coba Bung pikir…lelaki itu
tiap hari dilihat Lin sambil jual lontong di sekolah ini. Jadi sudah tahu betul
kehidupannya oleh Lin. Biarpun dia sudah kelas tiga. Gengsi dong, dia sama
lelaki macam itu”. Rio semakin memperjerlas kekesalannya.
“Pada
titik inilah kentaranya beda konsep kita
masing-masing. Kau sudah terpengaruh oleh beberapa gelintir wanita yang
keranjingan harta, hingga menomor-duakan harga dan nilai pribadi. Itu hanya beberapa orang saja. Masih
banyak yang tetap mempertahankan kepribadian. Kau tahu, harta dapat dicari.
Tapi pribadi? Pribadi…mau cari di mana?”
“Pokoknya aku nggak yakin. Cewek
secantik Lin mau takluk pada lelaki macam itu. Dan…”
Pertengkaran kami terhenti, ketika di
halaman depan terdengan suara ribut-ribut. Saya dan Rio lalu pergi ke depan.
“Hore…hore…hore… Terus…terus…jangan
bayar. Kalau dia nggak mau ngaku. Desak lagi…” suara itu semakin riuh.
Beberapa orang kelas satu IPS-4 (lokal
saya) masih mengelilingi warung kecil itu. Ada yang mengangkat piring, ada pula
yang menenteng gelas dan entah apa lagi.
Saya coba mendekat.
“Hei cepat kawan-kawan. Mari cepat.
Ini kesempatan bertanya langsung. Mumpung bapak belum ke mari”. Heru
mengacungkan piring bekas lontongnya tinggi-tinggi.
“Ada apa, Her? Ribut-ribut,” saya
bertanya.
“Aaa..cepat,
Bung mau ikut? Silakan.
Atau kau saja sebagai jubir kami?”
“Ya. Tapi ini ada masalah apa?”
“Begini” tadi saya nraktir teman-teman
makan lontongnya. Ada dua belas piring ngkali. Tapi sebelum bayar kami mau
bertanya soal itu dulu. Kalau dia nggak mau jawab, ya lontongnya bakal gratis”.
“Soal apa?”
“Soal berita-berita hangat di sekolah
kita itu. Masa nggak tahu juga. Itu berita kembang sekolah kita. Apa benar dia
ada hubungan sama bintang sekolah kita itu. Kalau nggak ngaku, lontongnya tidak
dibayar. Setuju?” Heru seperti sedang memimpin demonstrasi saja.
“Setujuuuuu…” seperti koor, semuanya
menjawab serempak.
Saya mulai mengerti latarnya. Heru
dan komplotannya akan mempermainkan lelaki penjual makanan di kantin sekolah
yang digossipkan pacaran dengan Lina, karena selalu berdua-duaan di warung itu
sambil Lin makan sesuatu. Hampir semua cowok-cowok sekolah iri mendengar berita
itu, khususnya cowok kelas satu.
Oh ya
tentang lelaki itu; namanya Surya. Dia siswa kelas III IPA 1 di sekolah saya. Dia masuk pagi. Dan sore hari dia
berjualan di pekarangan sekolah untuk membantu ibunya menacri nafkah. Ibunya
hanya pembantu rumah tangga. Sedangkan ayahnya telah tiada sejak dia kecil. Itu
saja yang saya tahu.
“Sebenarnya apa yang kawan-kawan
inginkan?” dengan suara rendah sekali Surya bertanya. Dia tampak semakin
bingung dengan kelakuan siswa-siswa kelas bawahannya itu. Tapi sebagai orang
miskin, dia lebih banyak sabar dari pada menonjolkan emosinya.
“Kami harap, bung berhenti
berhubungan dengannya. Malulah. Jangan bermimpi seperti itu. Nggak baik”,
seseorang menjawab.
“Hai teman-teman, begini nggak baik.
Dia berusaha dengan tulangnya sendiri. Itu jalan halal. Saya kira lebih baik
bayar dulu apa yang sudah dimakan itu. Nanti semuanya juga dapat diselesaikan”,
saya coba menengahi.
“Hop, lu jangan ikut-ikut campur,
kalau begitu caranya”. Tiba-tiba Rio menyanggah pendapat saya.
“Atau tindakan kalian ini saya
laporkan ke kantor?” saya coba menggertak.
“O, nggak usah Syid. Ini hanya
masalah sepele. Biar saya telah dibuat begini, saya masih bersedia kalau kita
bisa menyelesaikan di sini saja. Terus terang, saya masih bingung dengan
tindakan kalian ini”. Dengan nada
diplomatis sekali kata-kata Surya.
“Jangan berpura-pura, Bung. Biar Bung
kelas tiga di sini, tapi sadar dikit. Cermin untungmu”.
Muka
Surya tampak merah mendengar kalimat itu. Dia merasa tersinggung. Itu keterluan, desisnya. Dia bangkit
dan berencana pergi untuk bertindak menunjukkan bahwa dia juga punya harga
diri. Tampaknya dia
mulai hilang sabar. Mungkin dia akan melabrak adik-adik kelasnya itu.
Tapi tiba-tiba dari arah barat
seorang guru muncul. Rupanya pak Khairul, guru Agama yang dekat dengan para
siswa itu telah memperhatikan kegaduhan itu dari tadi. Langkahnya tampak lebih
kencang dari pada biasanya jika Pak Jenggot itu berjalan.
Surya mengurungkan niatnya untuk
melampiaskan emosinya.
“Heh, itu Bapak”, salah seorang di
antara mereka menunjuk ke arah lelaki yang suka memakai songkok haji walaupun
dia belum menunaikan rukun Islam kelima itu.
Saya melihat Heru, buru-buru merogoh
sakunya. Mengeluarkan selembar lima ribuan. Dan, “nich uangnya. Cepatan kembalinya”.
Surya tidak langsung mengambil uang yang
setengah dilemparkan di atas meja jualannya itu.
“Huh…cepatlah”. Heru seperti
ketakutan.
Sementara itu beberapa orang anggota
komplotan itu mulai hilang. Kian lengang melihat Pak Khairul datang.
“Biarlah. Terima kasih. Nggak usah
bayar, Saya mengizinkan lontong itu kalian makan”. Surya akhirnya menolak uang
itu.
“Lalu utang kami?”
“Saya maafkan”.
Heru seperti kehilangan akal mendengar
kalimat-kalimat itu. Dia seperti menyesal.
“Lain kali, berpikir dulu sebelum
berbuat. Kalian hanya menurutkan emosi hati, tapi tanpa bukti”, kata lelaki
yang jagoan matematika itu Aku pun jadi terharu mendengar ucapan itu.
Heru dan beberapa komplotanya cepat-cepat
meninggalkan warung kecil di sudut pekarangan itu. Dan uang lima ribu itu
ditinggalkan begitu saja olehnya di atas meja. “Nanti saya ambil kembalinya”,
katanya lalu berlari.
Bel berbunyi tiga kali. Berarti
masuk. Sayapun berlalu meninggalkan tempat itu dengan sejuta kekaguman pada
lelaki itu. Pasti orang tuanya, dulu, memberinya nama Surya agar kelak dia
dapat menjadi penerang seperti sang surya di langit bagi orang dan alam di
kelilingnya. Ah tabahkan hatimu Surya, hanya bathin saya yang mampu
menggema ***
Tidak ada komentar:
Write komentarBerikan Komentar Anda