Berita MGMP

Minggu, 10 September 2017

Cerpen: SURYA

EKOLAH saya gempar. Seru. Pokoknya menegangkan, ketika sas-sus itu pecah dan kian santer. Begitu kencang beredarnya dari mulut ke mulut. Banyak yang pro, tapi tidak kurang yang kontra. Masing-masing punya argumen dan pandangan.
“ Hei Syid, apa kau percaya dengan berita itu?” Rio rekan saya yang paling intim mulai penasaran mendengar suara-suara burung itu.

Saya maklum, Rio (nama lengkapnya Riosaputra) memang ada minat, dulunya. Tentu saja dia termasuk deretan yang kontra menanggapi berita semacam itu. Bahkan menurut saya mungkin saja rasa lelakinya serasa tersinggung.
“Kalau menurutmu?” saya balik bertanya, menjenguk hatinya.
“Haaak…kalau saya sih nggak percaya. Mustahil. Nggak masuk ke sini”, dia menunjuk jidatnya. ”Masa model tampang dia mampu menggaet itu kembang”, dengan nada sinis Rio berapi-api menjelaskan untuk menangkis info itu.
Pass, kata saya dalam hati. Dugaan saya tepat. Warna muka Rio pun menunjukkan dia keki. Iri. Lalu saya tersenyum kecil.
“Kenapa? Bung, percaya?” matanya sedikit terbuka.
“Bukan percaya atau tidak. Bukan itu yang saya pikirkan. Tapi saya masih ragu dengan gosip-gosip semacam itu. Jangan-jangan itu sekedar jual kecap orang-orang iseng. Atau sekedar memanas-manasi orang tertentu”.
“Bhuaaah…kamu seperti nggak ngikuti situasi. Sebanyak itu mulut di sini yang bilang begitu. Apanya yang Bung ragukan?” suara Rio mulai naik.
“Kebenarannya. Itu yang saya sangsikan”.
“Jadi kamu nggak percaya dengan mulut sebanyak itu?”
“Itu saja belum menjamin kebenarannya, Rio. Di samping cerita kita juga mesti ada fakta. Teliti dulu”.
“Nah, akhirnya Bung…kan nggak percaya juga, kan? Berarti kita sependapat saja. Heh Syid, “sedikit rendah dinamiknya. Temponya juga agak lambat”…jangan kan dia, seperti aku, Heru, Sino, bahkan Mun yang sering bawa Honda Civic itu pernah mencoba mengetuk jantung itu cewek. Hasilnya? Nihil. Semua kami ditolak. Kurang apa kita-kita ini? Soal tampang? Aku rasa belumlah kalah. Apa lagi dia, mana mungkin”. Rio kian bersemangat. Humorisnya tak terbayang lagi.
“Di sinilah kita beda pendapat, Rio. Aku rasa….tampang dan kekayaan belum menjamin untuk bisa meluluhkan hati wanita. Lagi pula, seperti Lin itu bukan tipe wanita bensin. Atau wanita mata duitan. Saya yakin, Lin adalah wanita yang menilai seseorang dari pribadi. Bukan harta meski ia anak orang berharta”.
“Ah, nggak usah berkhutbah. Teori itu hanya ada dalam cerita-cerita fiktif. Dalam kenyataannya, semua manusia di kulit bumi ini, terutama ceweknya, ya sama saja. Tetap menomor-satukan kekayaan. Soal pribadi itu belakangan. Saya kira orang seperti Lin itu, pun sama. Jelas dia memilih pasangan yang berkelas. Mana masuk akal, Lin tunduk pada penjual lontong. Dan paling tidak masuk akal, coba Bung pikir…lelaki itu tiap hari dilihat Lin sambil jual lontong di sekolah ini. Jadi sudah tahu betul kehidupannya oleh Lin. Biarpun dia sudah kelas tiga. Gengsi dong, dia sama lelaki macam itu”. Rio semakin memperjerlas kekesalannya.
“Pada titik inilah kentaranya  beda konsep kita masing-masing. Kau sudah terpengaruh oleh beberapa gelintir wanita yang keranjingan harta, hingga menomor-duakan harga dan nilai pribadi. Itu hanya beberapa orang saja. Masih banyak yang tetap mempertahankan kepribadian. Kau tahu, harta dapat dicari. Tapi pribadi? Pribadi…mau cari di mana?”
“Pokoknya aku nggak yakin. Cewek secantik Lin mau takluk pada lelaki macam itu. Dan…”
Pertengkaran kami terhenti, ketika di halaman depan terdengan suara ribut-ribut. Saya dan Rio lalu pergi ke depan.
“Hore…hore…hore… Terus…terus…jangan bayar. Kalau dia nggak mau ngaku. Desak lagi…” suara itu semakin riuh.
Beberapa orang kelas satu IPS-4 (lokal saya) masih mengelilingi warung kecil itu. Ada yang mengangkat piring, ada pula yang menenteng gelas dan entah apa lagi.
Saya coba mendekat.
“Hei cepat kawan-kawan. Mari cepat. Ini kesempatan bertanya langsung. Mumpung bapak belum ke mari”. Heru mengacungkan piring bekas lontongnya tinggi-tinggi.
“Ada apa, Her? Ribut-ribut,” saya bertanya.
“Aaa..cepat, Bung mau ikut? Silakan. Atau kau saja sebagai jubir kami?”
“Ya. Tapi ini ada masalah apa?”
“Begini” tadi saya nraktir teman-teman makan lontongnya. Ada dua belas piring ngkali. Tapi sebelum bayar kami mau bertanya soal itu dulu. Kalau dia nggak mau jawab, ya lontongnya bakal gratis”.
“Soal apa?”
“Soal berita-berita hangat di sekolah kita itu. Masa nggak tahu juga. Itu berita kembang sekolah kita. Apa benar dia ada hubungan sama bintang sekolah kita itu. Kalau nggak ngaku, lontongnya tidak dibayar. Setuju?” Heru seperti sedang memimpin demonstrasi saja.
“Setujuuuuu…” seperti koor, semuanya menjawab serempak.
Saya mulai mengerti latarnya. Heru dan komplotannya akan mempermainkan lelaki penjual makanan di kantin sekolah yang digossipkan pacaran dengan Lina, karena selalu berdua-duaan di warung itu sambil Lin makan sesuatu. Hampir semua cowok-cowok sekolah iri mendengar berita itu, khususnya cowok kelas satu.
Oh ya tentang lelaki itu; namanya Surya. Dia siswa kelas III IPA 1 di sekolah saya. Dia masuk pagi. Dan sore hari dia berjualan di pekarangan sekolah untuk membantu ibunya menacri nafkah. Ibunya hanya pembantu rumah tangga. Sedangkan ayahnya telah tiada sejak dia kecil. Itu saja yang saya tahu.
“Sebenarnya apa yang kawan-kawan inginkan?” dengan suara rendah sekali Surya bertanya. Dia tampak semakin bingung dengan kelakuan siswa-siswa kelas bawahannya itu. Tapi sebagai orang miskin, dia lebih banyak sabar dari pada menonjolkan emosinya.
“Kami harap, bung berhenti berhubungan dengannya. Malulah. Jangan bermimpi seperti itu. Nggak baik”, seseorang menjawab.
“Hai teman-teman, begini nggak baik. Dia berusaha dengan tulangnya sendiri. Itu jalan halal. Saya kira lebih baik bayar dulu apa yang sudah dimakan itu. Nanti semuanya juga dapat diselesaikan”, saya coba menengahi.
“Hop, lu jangan ikut-ikut campur, kalau begitu caranya”. Tiba-tiba Rio menyanggah pendapat saya.
“Atau tindakan kalian ini saya laporkan ke kantor?” saya coba menggertak.
“O, nggak usah Syid. Ini hanya masalah sepele. Biar saya telah dibuat begini, saya masih bersedia kalau kita bisa menyelesaikan di sini saja. Terus terang, saya masih bingung dengan tindakan kalian ini”.  Dengan nada diplomatis sekali kata-kata Surya.
“Jangan berpura-pura, Bung. Biar Bung kelas tiga di sini, tapi sadar dikit. Cermin untungmu”.
Muka Surya tampak merah mendengar kalimat itu. Dia merasa tersinggung. Itu keterluan, desisnya. Dia bangkit dan berencana pergi untuk bertindak menunjukkan bahwa dia juga punya harga diri. Tampaknya dia mulai hilang sabar. Mungkin dia akan melabrak adik-adik kelasnya itu.
Tapi tiba-tiba dari arah barat seorang guru muncul. Rupanya pak Khairul, guru Agama yang dekat dengan para siswa itu telah memperhatikan kegaduhan itu dari tadi. Langkahnya tampak lebih kencang dari pada biasanya jika Pak Jenggot itu berjalan.
Surya mengurungkan niatnya untuk melampiaskan emosinya.
“Heh, itu Bapak”, salah seorang di antara mereka menunjuk ke arah lelaki yang suka memakai songkok haji walaupun dia belum menunaikan rukun Islam kelima itu.
Saya melihat Heru, buru-buru merogoh sakunya. Mengeluarkan selembar lima ribuan. Dan, “nich uangnya. Cepatan kembalinya”.
Surya tidak langsung mengambil uang yang setengah dilemparkan di atas meja jualannya itu.
“Huh…cepatlah”. Heru seperti ketakutan.
Sementara itu beberapa orang anggota komplotan itu mulai hilang. Kian lengang melihat Pak Khairul datang.
“Biarlah. Terima kasih. Nggak usah bayar, Saya mengizinkan lontong itu kalian makan”. Surya akhirnya menolak uang itu.
“Lalu utang kami?”
“Saya maafkan”.
Heru seperti kehilangan akal mendengar kalimat-kalimat itu. Dia seperti menyesal.
“Lain kali, berpikir dulu sebelum berbuat. Kalian hanya menurutkan emosi hati, tapi tanpa bukti”, kata lelaki yang jagoan matematika itu Aku pun jadi terharu mendengar ucapan itu.
Heru dan beberapa komplotanya cepat-cepat meninggalkan warung kecil di sudut pekarangan itu. Dan uang lima ribu itu ditinggalkan begitu saja olehnya di atas meja. “Nanti saya ambil kembalinya”, katanya lalu berlari.

Bel berbunyi tiga kali. Berarti masuk. Sayapun berlalu meninggalkan tempat itu dengan sejuta kekaguman pada lelaki itu. Pasti orang tuanya, dulu, memberinya nama Surya agar kelak dia dapat menjadi penerang seperti sang surya di langit bagi orang dan alam di kelilingnya. Ah tabahkan hatimu Surya, hanya bathin saya yang mampu menggema  ***

Tidak ada komentar:
Write komentar

Berikan Komentar Anda